Jika tak batal lagi, Presiden Amerika Serikat Barack Obama akan melawat ke Jakarta pada 9-10 November. Ini kunjungan antiklimaks karena sebagian dari kita kecewa dengan pembatalan-pembatalan terdahulu.
Popularitas Obama semakin turun di dalam negeri, kini approval rate dia berada di kisaran 40 persen. Satu-satunya prestasi Obama adalah mengesahkan undang-undang jaminan kesehatan: untuk pertama kalinya dalam sejarah AS, rakyat bisa menikmati pelayanan kesehatan yang memadai dengan harga terjangkau.
Ini jasa Obama yang dikenang rakyat dan tercatat dengan tinta emas dalam sejarah negara adidaya itu. Apalagi kapitalisme yang kejam menganggap jaminan kesehatan sekadar redistribusi kekayaan untuk rakyat yang tak berhak menikmatinya.
Hampir pasti Partai Demokrat kehilangan mayoritas di Kongres (Senat dan DPR) pada pemilu sela 2 November pekan depan. Setelah itu, Obama akan menghadapi Kongres yang dikuasai Partai Republik yang mendapatkan momentum menyongsong 2012.
Pilpres 2012 hanya tinggal sekitar setahun lagi karena kampanye perdana Kaukus Iowa berlangsung Januari 2012. Kini sekurangnya ada tiga capres Republik yang siap menantang Obama, termasuk eks Gubernur Alaska Sarah Palin.
Obama terancam jadi presiden satu periode saja, mengulang nasib Presiden Jimmy Carter (1976- 1980) dan George HW Bush (1988-1992). Namun, ia masih bisa menjungkirbalikkan perkiraan, meniru prestasi presiden dua periode: Ronald Reagan (1980-1988) dan Bill Clinton (1992-2000).
Seperti Obama, Clinton dalam posisi terdesak setelah Demokrat dikalahkan telak oleh ”Republican Revolution” dalam pemilu sela 1994. Namun, daya tahan serta kecerdikan Clinton membuatnya terpilih kembali tahun 1996.
Wartawan senior Bob Woodward ”buka rahasia” di Larry King Live, CNN. Ia mengungkapkan, Demokrat telah mengatur strategi jangka panjang memenangkan kembali Obama untuk periode 2012-2016 dan setelah itu menyiapkan Menlu Hillary Clinton sebagai capres 2016-2020.
Tahun 2016 usia Hillary 69 tahun alias ”belum tua” atau ”masih muda”. Usia memang bukan tidak pernah jadi ukuran bagi pilpres di AS karena Reagan, misalnya, berumur lebih dari 80 tahun ketika menjadi presiden dalam periode kedua.
Jika diperhatikan, Obama—juga Hillary—belakangan ini menerapkan politik luar negeri high profile dan lebih agresif dibandingkan Presiden George W Bush. Gejala itu setidaknya tampak melalui keterlibatan AS di Asia Pasifik, kawasan yang diabaikan George W Bush.
Itu sebabnya, Obama mengadakan KTT AS- ASEAN di New York, September lalu. Sabtu (30/10) di Hanoi, AS bersama Rusia resmi jadi anggota East Asia Summit yang kini beranggotakan 10 negara ASEAN plus China, Korea Selatan, Jepang, India, Australia, dan Selandia Baru.
Selain melawat ke Jakarta, Obama juga akan mengunjungi India, Yokohama (Jepang) dalam rangka KTT APEC, serta Seoul (Korsel) menghadiri KTT G-20. ”Diplomasi Asia” ini bisa berdampak positif pada citra Obama di dalam negeri.
Akan tetapi, hal sebaliknya terjadi pada Presiden George HW Bush yang dikalahkan Clinton dalam pilpres 1992. Ia coba menjadi foreign policy president karena terlalu mengandalkan sukses-sukses di panggung internasional untuk memperkuat posisi politik domestik.
Teori menyebutkan, politik luar negeri sebuah negara merupakan cerminan dari situasi domestik negara itu. Kondisi ekonomi dalam negeri AS yang buruk berhasil dimanfaatkan Clinton untuk mengalahkan Bush senior dengan slogan ”It’s the economy, stupid!”.
Bagi Obama, Indonesia tidak sepenting Jepang atau Korsel, dua negara yang layak menyandang status ”mitra strategis” (strategic partner). Oleh sebab itu, AS menolak jalinan kerja sama ”kemitraan strategis” itu dengan Indonesia, cukup dengan ”kemitraan komprehensif” (comprehensive partnership) saja.
Kita harus pandai memainkan posisi vital sebagai negara menengah tanpa perlu jadi antek AS atau China. Sudah sering terdengar, politik luar negeri kita terlalu pro-Washington DC yang nun jauh di sana.
Kepentingan utama AS di Asia Pasifik dewasa ini, tak lebih tak kurang, untuk mengimbangi pengaruh China. Mereka masih terjebak dalam persepsi apakah China sesungguhnya mitra atau, sebaliknya, kompetitor?
Kita agak lalai dalam menjalin hubungan politik dan keamanan yang harmonis dengan China. Misalnya, untuk apa kita terlibat dalam upaya penyelesaian saling klaim tumpang tindih wilayah di Laut China Selatan, padahal kita tidak punya klaim apa pun?
Sikap terlalu condong ke Barat terasa cukup menonjol selama SBY memimpin. Kita, misalnya, kurang berani menghadapi tekanan Australia menampung imigran gelap/manusia kapal yang minta suaka ke ”Negeri Kanguru” itu.
Indonesia jadi Ketua ASEAN, kesempatan memperkuat citra dan posisi sebagai negara mandiri. Perang Dingin sudah lewat, politik dikte-mendikte telah usang, komunisme sudah lama mati, dan neoliberalisme mesti diwaspadai.
Lebih penting lagi, jika mau ingin jadi foreign policy president, benahi dulu kondisi dalam negeri. Apalagi hari-hari ini bencana alam di Mentawai/Merapi butuh perhatian pemimpin selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bukan beberapa jam saja.
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/30/04400023/foreign.policy.president