“An empty stomach is not a good political adviser.”
Albert Einstein
Memprovokasi kesadaran. Menginspirasi kesetaraan. Lokomotif kebebasan.
07 Thursday Oct 2010
Posted Panglima Kata
in“An empty stomach is not a good political adviser.”
Albert Einstein
Memprovokasi kesadaran. Menginspirasi kesetaraan. Lokomotif kebebasan.
07 Thursday Oct 2010
Posted Camera Politica
inhttp://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/10/07/ArticleHtmls/07_10_2010_001_017.shtml?Mode=1
Koran Tempo 7 Oktober 2010
Belanda Tetap Menanti Yudhoyono
07 Thursday Oct 2010
Posted Amazing World
inPria Ini Beristri 130, Beranak 210
Di usia 35 tahun, dia sudah menikah untuk ke-45 kali. Inilah Asentus “Danger” Akuku.
(www.standardmedia.co.ke)
VIVAnews – Di Kenya, Asentus Ogwella Akuku adalah lambang poligami. Akuku mengaku menikah 130 kali sepanjang hidupnya, namun hukum di Kenya hanya mengakui 40 di antaranya.
Di usia 22 tahun, Akuku sudah menikahi lima wanita. Di usia 35 tahun, dia menikah untuk ke-45 kalinya. Teman-temannya mulai menjulukinya “Danger” atau “Bahaya” karena kemampuannya memikat wanita.
Jika ada penghargaan untuk pelaku poligami terbanyak, Akuku bisa jadi mendapat medali emas. Saking populernya, Akuku bahkan meminta bayaran jika diwawancara media. Jurnalis dan turis yang bertamu ke rumahnya di Ndhiwa bahkan harus “membayar.”
Istri Pertama
Menurut koran Kenya, Standard Media, Akuku menikah pertama kali pada tahun 1939 dan terakhir kali pada 1997 saat berusia 79 tahun. Istri termudanya saat dinikahi berusia 18 tahun dan sekarang mereka memiliki tiga anak.
Akuku mengklaim telah menikah 130 kali, namun hanya 40 yang diakui adat setempat. Lebih dari 80 istrinya telah diceraikan.
Juru bicara keluarga, Tom Akuku, mengatakan dari 40 istri yang sah, 22 orang di antaranya masih hidup. “Beliau memiliki 210 anak, 104 anak perempuan dan 106 anak laki-laki, yang beberapa telah meninggal,” katanya.
Keturunan Akuku sekarang hidup tersebar di Kanyamwa dan Aora Chuodho di Kabupaten Ndhiwa dan Karungu di Kabupaten Nyatike, Kenya. Sebagian putra dan cucu-cucunya mendapat pendidikan yang baik, bekerja untuk pemerintah atau swasta.
“Beliau (Akuku) telah menjadi penasihat dan pelindung kami,” kata Dorcas Matunga, salah satu menantu Akuku.
Rahasia Keperkasaan
Aku pernah mengatakan, rahasia keperkasaannya adalah pola makan ketat. “Saya menghindari banyak lemak dan garam dan itu menghindarkan saya dari penyakit,” katanya.
“Saya makan pada waktunya dan tak makan apa pun di luar waktunya. Saya memakan makanan tradisional yang disiapkan dengan baik. Saya selalu makan buah setelah makan.”
Sebagai pemimpin keluarga besar, Akuku dikenal karena kedisiplinannya memerintah dengan tangan besi. Dia hafal nama semua anaknya dan mengatur jadwal berkunjung ke istri yang mana.
“Saya menceraikan wanita yang tak berkelakuan baik,” ujarnya.
Namun, Akuku juga dikenal sebagai orang yang royal pada wanita. “Saya menjalani hidup mewah. Selalu siap mengeluarkan uang untuk wanita,” katanya menceritakan cara menjaga kedekatannya dengan wanita.
“Saya dijuluki “Bahaya” karena saya mengalahkan banyak pria dalam hal wanita. Saya sangat gagah. Saya berpakaian dengan gaya dan tahu cara memperlakukan wanita dengan omongan manis. Tak ada wanita yang bisa mengenyahkan pendekatan saya. Saya seperti magnet.”
Minggu dinihari, 3 Oktober 2010, Akuku tumbang dan dilarikan ke rumah sakit. Saat tiba di rumah sakit provinsi pada pukul 2 dinihari, Akuku meninggal karena penyakit diabetes yang dideritanya.
Kematiannya meninggalkan kisah salah seorang pelaku poligami terbesar yang tercatat sejarah. Salah satu cucunya, Maureen Ochido menyebut, “kakekku seorang yang sangat bersahabat dan penyayang yang sering disalahpahami.”
Dan keluarganya berbaris memenuhi pemakamannya. Begitu besarnya, sehingga jika istri dan anaknya diminta berdiri, lebih separuh yang berduka akan menegakkan kakinya.
• VIVAnews
07 Thursday Oct 2010
Posted Camera Politica
inIndonesia-Belanda
Kisah “Orang Indonesia” di Belanda…
Kompas Kamis, 7 Oktober 2010 | 03:05 WIB
Pim Westerkamp, kurator di Tropenmuseum, Amsterdam, menjelaskan foto-foto karya Leonard Freed tentang “Indonesiers in Holland 1958-1962”. Foto-foto yang dipamerkan di Tropenmuseum, Kamis (23/9), itu menggambarkan kedatangan dan kehidupan orang Indonesia di Belanda.
Ahmad Arif
”Amsterdam. Pengungsi Indonesia tiba di Belanda setelah diusir dari negara mereka karena memegang paspor Belanda. Dari kapal, mereka dibawa ke kamp-kamp untuk pemeriksaan medis dan kemudian dikirim ke rumah-rumah di seluruh negeri. Bagi sebagian di antara mereka, Belanda terlalu dingin sehingga banyak yang tewas….”
Demikian catatan di balik sebuah foto yang menggambarkan seorang perempuan berwajah Ambon, dengan pakaian kebaya putih, ketika baru tiba ke Pelabuhan Amsterdam. Dalam foto yang lain, seorang perempuan berkerudung asal ”Indonesia” tampak tersenyum bahagia.
Teks di belakang foto tertulis, ”Perempuan ini meninggalkan Indonesia setelah negaranya memperoleh kemerdekaannya dan tiba di sini, di Amsterdam, untuk bergabung dengan keluarganya, yang telah datang lebih dulu.”
Foto-foto itu diabadikan oleh fotografer Magnum, Leonard Freed, selama kurun 1958-1962 dan dipamerkan di Tropenmuseum, Amsterdam, pada pengujung September 2010.
Serial foto ini menggambarkan tentang orang-orang Indonesia—kebanyakan berasal dari Ambon—saat baru datang di Belanda hingga beberapa saat setelah mereka tinggal di negeri itu. Mereka kebanyakan eks tentara Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) dan keluarga. Foto-foto ini mengingatkan pada kisah komunitas Maluku di Van Het Rijk, Nistelrode, Provinsi Noord Brabant, yang saya temui akhir Oktober 2008. ”Waktu baru datang, kami sangat menderita,” kenang Helena Mparityenan (80).
Helena adalah generasi pertama Maluku yang datang ke Belanda tahun 1951. Dia merasakan penderitaan dalam perjalanan dengan kapal dari Surabaya menuju Belanda dan hidup bertahun-tahun di barak.
Kehidupan yang pahit di Belanda membuat sebagian orang yang terusir dari kampung asalnya memendam rasa marah terhadap sesuatu yang berbau Indonesia. Sebagian dari mereka kemudian mendirikan Pemerintah Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda.
Gerakan yang awalnya mendapat dukungan dari masyarakat Belanda ini biasanya berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar RI (KBRI) setiap peringatan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus dan peringatan pembentukan RMS pada 20 April.
Namun, beberapa aksi nekat simpatisan RMS membuat mereka kehilangan dukungan. Misalnya, penyanderaan 18 tenaga staf KBRI pada 1966, pendudukan Wisma Duta pada 13 Agustus 1970, dan penyanderaan di Konsulat Jenderal RI di Amsterdam tahun 1975. Puncaknya ketika mereka menyandera penumpang kereta api di Wijster dekat Beilen, Juli 1975, yang menewaskan dua orang di antaranya; pembajakan kereta api dari Assen dan Groningen, utara Belanda, pada 1977; dan penyanderaan 110 orang, sebagian besar anak sekolah, di Bovensmilde pada tahun 1978.
Masyarakat Belanda yang semula bersimpati lalu menjauh dan acuh dengan mereka. RMS kehilangan dukungan moral maupun keuangan.
Tak hanya itu, generasi penerus RMS di Belanda juga semakin acuh dengan gerakan politik pendahulu mereka. Salah satunya adalah Daniel Irijanan (25) dari Nistelrode. Kakeknya, Ezechiel Irijanan, berasal dari Maluku Tenggara dan neneknya dari Sunda. Daniel adalah generasi ketiga keturunan eks tentara KNIL yang menetap di Belanda sejak tahun 1950-an.
Daniel enggan berbicara politik, terutama yang berkaitan dengan RMS. Tema pembicaraan yang paling disukainya adalah tentang Ajax. Maklum, Daniel mengaku pendukung fanatik klub sepak bola raksasa dari Belanda itu.
Daniel mengaku sudah beberapa kali pulang ke kampung leluhurnya di Ambon. Untuk berwisata dan mengunjungi kerabat.
Pascal Amukwaman, mantan Ketua Organisasi Nasional Sosial Maluku di Belanda, mengatakan, gerakan RMS tidak lagi populer di mata generasi ketiga. Walaupun masih ada simpatisan RMS, jumlahnya terus berkurang. Tidak signifikan dan gerakan ini nyaris tak terdengar lagi di Belanda dalam beberapa tahun terakhir.
Oleh karena itu, banyak orang Indonesia, termasuk kalangan Maluku, di Belanda yang terkejut dengan pembatalan rencana kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda gara-gara RMS mendaftarkan tuntutan dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia ke pengadilan Belanda. RMS yang semula nyaris mati angin tiba-tiba mendapat angin.
Pembatalan kunjungan ini memang mengagetkan karena terjadi di tengah membaiknya hubungan diplomatik kedua negara. Seiring dengan semakin sedikitnya orang Maluku yang berdemonstrasi ke KBRI Den Haag, pada 2007, Perdana Menteri Belanda Jan Peter Balkenende datang dalam peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot menghadiri peringatan 17 Agustus di Istana Merdeka, Jakarta, pada tahun 2005.
Kehadiran pejabat-pejabat tinggi Belanda ini merupakan yang pertama setelah selama lebih dari 60 tahun mereka mengingkarinya dan menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.
Semangat zaman baru sangat terasa di perkampungan orang- orang Maluku di Van Het Rijk. Masih segar di ingatan sore itu udara teramat dingin dan angin dingin menjatuhkan dedaunan, mencipta karpet kuning menghampar di tanah pusara di ujung permukiman Van’t Rijk. ”Di sini dikuburkan para orang tua kami. Masa lalu kami,” kata Pascal.
Dia mengingatkan, sejarah itu tak bisa diputar ulang atau diingkari. Sebagaimana digambarkan dalam foto-foto kenangan Leonard Freed tentang ”orang- orang Indonesia di Belanda”, RMS adalah ”masa lalu”, dan mestinya tak lagi mengganjal hubungan dua negara….
07 Thursday Oct 2010
Posted Borderless
inBENNY HANDOKO
Gay dan Salah Logika Menteri @tifsembiring
Mengapa Menkominfo tiba-tiba menulis tentang AIDS, dan lebih-lebih soal homoseksual?
Vivanews JUM’AT, 1 OKTOBER 2010, 15:01 WIB
VIVAnews – Ada yang menarik dari akun twitter Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, yang di-posting Rabu malam, 29 September 2010. Di akun twitternya @tifsembiring menulis tweet serial pendek (enamtweet) mengenai AIDS dan homoseksual.
Mengapa Menteri Tifatul tiba-tiba menulis tentang AIDS, dan lebih-lebih soal homoseksual?
Saya menduga hal ini ada kaitannya dengan Q! Film Festival yang sedang berlangsung di Goethe Institut. Festival itu memutar film-film bertema LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Transexual, Queer). Kementerian Kominfo bahkan sempat mengeluarkan rilis pers (yang kontroversial) terkait acara tersebut.
Membaca tweet seri dari @tifsembiring, tentang AIDS dan seputar homoseksual itu, saya melihat adanya logical fallacy yang membuat saya tertarik membahasnya.
Mari kita simak tweet @tifsembiring itu:
“Cegahlah diri Anda dan keluarga dari penularan virus HIV/AIDS. Angka-angka penderita dan penularannya selalu meningkat tajam setiap tahunnya.
MI 12/11/2009: “Penyebab HIV/AIDS dari Kaum Gay Meningkat Tajam”. Kata dokter: perilaku seks yang menyimpang adalah sebagai penular virus tersebut.
Kata Al-Qur’an: Allah SWT membalikkan bumi kaum Nabi Luth, pelaku homoseks, menghujani mereka dengan batu, dari tanah yang terbakar QS 11:81-82.
Penularan virus HIV/AIDS harus dicegah, juga penularan perilaku-perilaku yang potensial membawa virus-virus tersebut. Sampai kini obat AIDS belum ditemukan.
Kata Prof. Sujudi, mantan menteri kesehatan, agar mudah diingat, singkatannya adalah AIDS = Akibat Itunya Dipakai Sembarangan.
Kata seorang kyai, jika melihat kemungkaran diam saja, itu sama spt syaithanul akhlash, maksudnya syetan gagu. Maka cegahlah kemungkaran.”
Berikut adalah tanggapan saya terhadap enam tweet Tifatul di atas:
Soal himbauan pencegahan diri dan keluarga dari penularan virus HIV/AIDS, himbauan itu normal, OK, walaupun datar.
Soal judul berita “Penyebab HIV/AIDS dari Kaum Gay Meningkat Tajam.” Headline itu bisa jadi benar, tapi kalimat berikutnya tidaklah tepat. Kalimat @tifsembiring: “Kata dokter: perilaku seks yang menyimpang adalah penular virus (AIDS)” misleading.
Mengapa?
Salah satu penyebab virus HIV menular bukanlah perilaku seks, baik hetero maupun homoseksual, tapi aktivitas seks yang tidak aman. Apakah seks hetero ataupun homoseksual, selama tak terjadi luka atau sentuh cairan, ya aman.
Jadi, tweet @tifsembiring yang menghubungkan kalimat “penyebab AIDS dari gay meningkat” dengan “perilaku gay sebagai penular virus” kelihatannya benar, tapi ngawur.
Sekali lagi, aktivitas seks tak aman (selain jarum suntik) merupakan salah satu sebab penularan HIV, bukan orientasi seksual.
Soal tweet @tifsembiring yang mengutip Al Quran, susah saya berkomentar karena saya tidak mendalami Al Quran. Silakan dibahas oleh rekan lain yang lebih paham.
Nah tweet @tifsembiring yang jelas ngawur adalah ini: “…penularan perilaku yang potensial membawa virus tersebut.”
Apa yang dimaksud dengan “penularan perilaku”?
Tifatul tampaknya menyamakan penularan HIV dengan penularan perilaku homoseksual. Padahal, ini dua hal berbeda. Ditambah lagi, yang kedua belum ada buktinya. Tifatul tidak menyajikan fakta-fakta penelitian untuk mendukung hipotesisnya, bahwa perilaku homoseksual ternyata bisa menular. Kalau tidak ada fakta penelitian yang mendukung argumen itu, maka maaf saja, itu sekadar omong kosong.
Tifatul juga mengutip joke Prof. Sujudi tentang kepanjangan AIDS. Konteksnya tidak dijelaskan. Audiensnya juga ketika itu siapa? Dijelaskan kemudian, Pak Sujudi ketika itu sedang melemparkan joke di depan sebuah acara yang dihadiri ibu-ibu. Joke seperti itu boleh-boleh saja. Namun, jika disisipkan di antara tweet yang menyatakan kaum homoseksual harus bertanggung jawab atas tersebarnya AIDS, menurut saya sangatlah tidak bijak.
Selain itu, Tifatul juga mengutip wejangan seorang kyai untuk tidak diam saja melihat kemungkaran. Di sini, apa yang dimaksud kemungkaran itu? Apakah menurut Tifatul, mereka yang sejak akil baliq memang berorientasi homoseksual adalah juga sebuah kemungkaran?
*Blogger, twitter ID: @benhan
07 Thursday Oct 2010
Posted Camera Politica
inMembuat Kapal Selam
Kompas Rabu, 6 Oktober 2010 | 03:59 WIB
NINOK LEKSONO
Masih dalam suasana peringatan hari jadi ke-65 TNI, maka satu tema yang masih terus bergema adalah pengembangan kemampuan industri pertahanan nasional. Bukan saja sekarang sudah ada Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), melainkan juga karena sekarang penguatan industri pertahanan dalam negeri telah diangkat sebagai wacana pendamping penguatan postur angkatan bersenjata RI.
Dua hal setidaknya bisa menjelaskan hal di atas. Pertama, ketika menjalani uji kelayakan dan kepatutan untuk menjadi Panglima TNI di DPR, Laksamana Agus Suhartono mendapat pesan bahwa terkait dengan pembangunan postur TNI, hal itu dilaksanakan dengan mempertimbangkan sungguh-sungguh pelibatan industri pertahanan dalam negeri. Berikutnya, sehari menjelang HUT ke-65 TNI, Presiden ketika memimpin sidang kabinet yang khusus membahas alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI menegaskan bahwa upaya modernisasi alutsista disertai komitmen mengutamakan produk industri strategis dalam negeri, kecuali yang belum bisa kita buat, seperti pesawat tempur, kapal perang, atau kendaraan tempur canggih (Kompas, 5/10).
Belum lama ini terbetik kabar bahwa bersama Korea Selatan, RI akan mengembangkan pesawat tempur KFX yang disebut lebih canggih dibandingkan F-16, tetapi masih di bawah kemampuan F-35 JSF Lightning II. Namun, seiring dengan itu, terbetik pula kabar bahwa Indonesia akan merancang kapal selam. Tidak kurang Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro sendiri yang mengemukakan hal ini di sela-sela seminar di LIPI yang dikutip di awal kolom ini.
Merentang rancang bangun
Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin yang mengunjungi PT DI, PT Pindad, dan PT PAL tentu diyakinkan bahwa dari segi kemampuan, tak ada yang diragukan dari putra-putra bangsa Indonesia untuk menguasai rancang bangun alutsista. Di matra udara, setelah membuktikan diri bisa membuat pesawat secanggih N-250 pada pertengahan dekade silam, masuk akal kalau program seperti KFX bisa merentang kemampuan lebih lanjut. Hal sama bisa dikatakan untuk PT Pindad, yang setelah menguasai rancang bangun kendaraan tempur dan membedah tank ringan Scorpion, lalu dalam posisi untuk merancang bangun pembuatan tank sekelas AMX.
Untuk matra laut, wacana bisa direntang lebih luas. Membaca buku Kapal Selam Indonesia (karya Indroyono Soesilo dan Budiman, 2008), pembaca tidak saja disuguhi sejarah kapal selam dan pengoperasiannya di Indonesia, lengkap dengan komandan dan awak yang pernah bertugas di kapal-kapal selam tersebut, tetapi juga segi lain yang berlingkup masa depan.
Di masa ketika isu perbatasan, khususnya perbatasan di laut, semakin sering mewarnai hubungan Indonesia dan negara tetangga, khususnya Malaysia, salah satu alutsista yang lalu sering dirasakan urgensinya adalah kapal selam. Bila kapal permukaan seperti korvet atau fregat melambangkan kehadiran, tetapi mudah disimpulkan kekuatannya, kapal selam lebih bermakna strategis karena memiliki daya penggentaran yang besar. Eksistensi yang nyata, tapi relatif sulit dilacak, membuatnya semakin dihargai oleh banyak negara. Setelah Singapura (4 Challenger dan 2 Archer yang merupakan kelas Vastergotland, Swedia), Malaysia pun kini sudah membeli dua kapal dari kelas Scorpene (buatan Perancis) (lihat The Military Balance 2010, IISS, 2010).
Kini Indonesia hanya mengoperasikan dua kapal selam–Cakra dan Nanggala–yang usianya hampir 30 tahun. Kapal selam tipe 209 buatan HDW Jerman ini sejak beberapa tahun terakhir disebut-sebut akan dicarikan penggantinya.
Ada wacana untuk melanjutkan apa yang sudah dimulai dengan kapal selam tipe 209, yang artinya tetap menggunakan buatan Jerman. Lalu yang terakhir muncul tawaran dari Pemerintah Korea, yang juga telah menguasai teknologi tipe 209 (dengan nama Changbogo).
Membuat kapal selam
Pembuatan kapal selam menjadi satu dari dua bahasan yang muncul ketika Sekretaris KKIP Sjafrie Sjamsoeddin berkunjung ke PT PAL. Selain kapal selam, topik lain adalah pembuatan kapal perusak kawal rudal.
Tentu dibutuhkan nasionalisme dan rasa percaya diri untuk bisa membuat kapal selam. Selama ini di PT PAL telah dibuat kapal berbagai jenis dan berbagai ukuran, dan membuat kapal selam dipastikan akan menuntut dimilikinya keterampilan teknis dan pemahaman akan rekayasa yang canggih.
Keinginan menguasai teknologi pembuatan kapal selam juga dibaca oleh pembuat kapal selam asing yang ingin menawarkan produknya ke Indonesia. Thyssen yang kini sudah menjadi perusahaan induk HDW pun dalam menawarkan tipe 209/1400 ini juga menawarkan alih teknologi kepada Indonesia, dalam hal ini PT PAL.
Sebagaimana juga ada di PT DI untuk pesawat terbang, di PT PAL pun kelak akan ada fasilitas pembuatan badan serta instalasi berbagai sistem yang ada pada kapal selam, seperti propulsi dan sebagainya. Keterampilan tersebut bisa diperoleh secara bertahap. Itu sebabnya, pada kapal selam pertama, sebagian besar pekerjaan (perakitan badan tekan dan instalasi outfitting tingkat tinggi) akan tetap dilakukan oleh mitra pembuat, dan PT PAL hanya akan mengerjakan integrasi dan penyelesaian keseluruhan kapal. Namun, untuk kapal kedua dan ketiga, bagian yang akan dikerjakan oleh teknisi Indonesia akan lebih banyak.
Diharapkan dengan proses alih teknologi yang konsisten, yang mengucur dari adanya program yang terjadwal rapi, pengerjaan dua kapal selam dengan alih teknologi bisa dikerjakan dalam tempo enam tahun.
Melalui program seperti itu, RI tidak saja akan menguasai pembuatan kapal selam, tetapi juga alutsista lain yang semakin kompleks.
Bila komitmen mendukung pengembangan kemampuan dalam negeri ingin diwujudkan, kapal selam jelas akan menjadi proyek lompatan kuantum yang besar artinya.