TERUSIK ZAHRA
Oleh:
JULIUS SUMANT
Jurnalis TV
juliussumant@gmail.com
juliussumant.wordpress.com
@juliussumant
Terang tapi gelap. Mustinya langit Jakarta yang cerah hari Minggu 27 September 2010 lalu saya agendakan untuk bersenang-senang. Jalan-jalan dengan istri sambil cari kado buat anak seorang kawan baik yang baru dua pekan lahir. Ringan saja. Tetapi sejak hendak berangkat, saat selangkah kakipun belum terangkat, pikiran kami sungguh terusik.
Pangkal musabab yang mengusik itu datang dari cerita istri. Setengah mengadu, setengah curhat seolah menimpa dirinya, istri saya menceritakan nasib malang yang menimpa seorang satpam di tempatnya bekerja di sebuah rumah sakit di Jakarta.
“Pa, ada satpam namanya Dili, hidupnya kok ngenes ya”, katanya. “Lha, emang kenapa dia?” sergah saya. Belum juga berangkat dan masih di ruang tamu di rumah kami, perbincangan serius mengenai keluarga Pak Dili memecah keheningan Hari Tuhan.
Istri saya mengatakan anak Pak Dili masuk rumah sakit lagi. Sejak lahir Januari 2010, atau sekitar umur delapan bulan, ini sudah yang kesekian kalinya Zahratu Shita, atau disapa Zahra bolak-balik rumah sakit. Di rumah pun selalu ada persediaan tabung oksigen sewaktu-waktu terjadi apa-apa.
“Minum kebanyakan sedikit atau nangis kenceng aja bisa langsung bikin tubuhnya membiru”, begitu penjelasan istri saya. Zahra gampang membiru karena mengidap kelainan jantung yang disebut dextrocardia, yakni posisi jantung berada di sebelah kanan padahal normalnya di sebelah kiri.
Kelainan Zahra bisa jadi memang bawaan lahir dan ada kaitannya dengan kondisi istri Pak Dili, Susan, yang sejak lama mengalami sejumlah komplikasi seperti diabetes melitus, ginjal, TBC dan besar kemungkinan kelainan jantung.
“Bisa jadi ini pula yang menjadi penyebab kematian anak pertama dan anak kedua Pak Dili, Pa”, istri saya mencoba mendiagnosa. Sedih betul nasib Pak Dili sekeluarga, dalam hati saya. Saya dan istri yang pernah kehilangan seorang anak berumur enam bulan di kandungan saja, merasa seperti kiamat sudah datang, apalagi ini. Kepergian dua anak pasangan Dili-Susan yang lain (kakak-kakaknya Zahra) terdahulu tentu sebuah kehilangan besar bagi mereka.
Kami tidak begitu mengenal keluarga Dili. Hanya istri saya yang kenal dengan Dili karena merupakan sesama karyawan di perusahaan itu. Saya tidak. Tapi dalam sekejap kisah sedih Zahra mendekatkan kami dengan keluarga sederhana ini. Seolah kami bagian dari keluarga yang sama. Saya lihat istri saya menangis pelan usai mendapat sebuah kabar dari seorang rekan yang juga teman Dili.
“Ada apa, Mam?”, tanya saya.
“Anak itu (Zahra) mengingatkanku pada Abel, Pa” istri saya menjawab pelan. Oh, pantas saja kami merasa senasib sepenanggungan tatkala tiga tahun lalu kehilangan anak pertama kami, Isabel Venus Ardhanareswari. Cuma bedanya, kami tidak ada persoalan dengan biaya persalinan waktu itu. Keluarga kami dan keluarga Dili dipersatukan karena Zahra. Begitu juga dengan perasaan kami.
“Zahra bisa selamat asalkan segera dioperasi” kata istriku saat kami tiba di sebuah toko buku terkenal langganan kami. “Cuma biayanya sangat mahal, bisa ratusan juta atau minimal puluhan juta”. Dari sumber lain, kami juga mendengar kabar biayanya bisa mencapai Rp 800 juta. Yang jelas, ini seperti berharap sebuah mukjizat turun pada seorang satpam bernama Dili. Dili sendiri kini sedang babak belur. Hanya ada Rp 1 juta rupiah di kantong sakunya. Delapan bulan terakhir, tepatnya sejak kelahiran Zahra pada Januari 2010, Dili hanya menerima gaji kurang dari Rp 450 ribu per bulan.
“Bagaimana bisa hidup dengan uang sekecil itu?”, berkali-kali pertanyaan itu mengganggu konsentrasi saya yang sedang berusaha menyortir buku mana yang mau saya beli. “Bagaimana mungkin si kecil Zahra bisa dirawat optimal kalau tidak punya biaya sama sekali?”
Gaji Dili sebagai satpam sebetulnya di atas UMR sedikit tapi habis untuk mencicil plafon reimburst pengobatan Zahra yang sekian kali dirawat di rumah sakit. Menurut perhitungan, minimal butuh 10 tahun cicil atas tagihan yang nilainya mencapai puluhan juta rupiah itu. Tapi ya itu tadi, sehari-hari harus bertahan hidup dengan bekal Rp 450 ribu dan selebihnya tekad.
Mengobrol perkembangan Zahra yang kritis di ICU, juga lika-liku kehidupan keluarga kecil ini, membuat baik saya maupun istri tak ingin lama-lama tenggelam dalam kubangan majalah dan buku. Dua-tiga kali istri saya mengontak rekannya menanyakan perkembangan keluarga Dili. “Oh, sekarang Zahra dirujuk ke RSCM ya…”, istri bicara dengan seorang rekannya di ujung telepon. Zahra dirujuk ke RSCM yang punya alat lebih canggih. Keadaannya makin memburuk. Dia harus segera dipasangi kateter di jantungnya untuk mengatasi kelainan itu.
Tumben, ratusan buku yang memamer diri sejak tadi di hadapan kami tak semenarik biasanya. Konsentrasi kami terbelah. Topik yang sama terus menggelantung meski setting sudah berganti panggung. Kali ini kami sudah bergeser tempat ke mal.
Sambil melenggang jalan menyusuri sejumlah outlet, Zahra tetaplah topic of the day kami seharian itu. Kasihan dan entah berapa iba lagi yang meluncur dari mulut saya mendengar cerita istri.
“Pa, bisa tidak kontak kawan-kawan? Siapa tahu akan banyak yang mau membantu. Zahra butuh penanganan secepatnya, harus urus kartu Gakin agar operasi bisa dilakukan”, usul istri saya. Dari rekan istri tadi, ongkos mengurus Gakin sekitar Rp 2,5 juta. Ada pula yang bilang ongkos urusnya sampai Rp 5 juta. Saya pun memutar otak mengingat-ingat siapa saja teman saya yang potensial mau membantu. Orang yang kira-kira sudah post-material, sudah berkecukupan dan tidak terlalu memikirkan kekayaan, saya pikir demikian kualifikasi dermawan itu.
Saya mulai memencet satu nomor kontak di telepon genggam. Karib saya di dunia pertelevisian, seorang presenter handal, yang saya tuju. Saya mengenal kedermawanannya. Tanpa saya jelaskan panjang lebar pun, pasti akan dibantu, pendek pikiran saya waktu itu. SMS dan email berisi sinopsis kisah keluarga Dili pun segera saya kirim.
Tak berapa lama sebuah surat elektronik balasan masuk mengabarkan, “Boleh, Ju. Aku mau bantu. Ada nomor rekening untuk transfernya?”. Teman yang dermawan ini mengirimkan Rp 2 juta ke rekening istri saya. Tanpa basa-basi, demikian ikhlasnya. Alhamdullilah, Puji Tuhan. Hari yang beranjak sore itu menjadi cerah. Bisa jadi secercah harapan buat Dili yang sedang berjuang menyelamatkan buah hatinya. Saya yakin saat itu orientasi satu-satunya pasangan Dili dan Susan adalah menyelamatkan Zahra.
Kisah penyelamatan sebuah nyawa manusia tentu bukan monopoli Kapten John Miller dalam film Saving Private Ryan, pikir saya. Kapten Miller dan peletonnya harus menyelamatkan nyawa dan membawa pulang seorang prajurit bernama James Ryan dari ganasnya Perang Dunia II di pedalaman pertahanan Jerman. Sama persis dengan usaha Dili menyelamatkan Zahra.
At all cost, kalau perlu dengan segala cara. Kapten Miller harus kehilangan sejumlah anggotanya itu, bahkan dia sendiri akhirnya mati demi James Ryan. Dua saudara kandung Prajurit James Ryan yang lain telah meninggal terlebih dahulu di medan perang dan untuk itu Menteri Pertahanan AS waktu itu, Jenderal George C Marshall, memerintahkan pemulangan tamtama itu atas nama kemanusiaan. Demi asa sang ibu. Saving Private Ryan sama heroiknya dengan keluarga Dili. Dua kakak Zahra juga sudah menghadap Yang Maha Kuasa sebelumnya. Berhutang sana-sini dengan gaji yang tinggal Rp 450 itu tentu sebuah beban yang berat, sebuah resiko hidup untuk berjuang menyelamatkan Zahra.
Hari kemudian berlalu. Senin sore rencana kami untuk menengok Zahra batal lantaran banyak hal. Saya belum selesai syuting di Metro TV, istri juga masih banyak pasien di rumah sakit, dan hari itu hujan deras diikuti macet di sana-sini. Tapi kami tetap mengontak kawan dan karib untuk memintakan kesediannya membantu kesembuhan Zahra.
Selasa, 28 September 2010. Sekali lagi hari berganti. Saya dan istri sudah janjian sejak pagi untuk datang ke RSCM untuk menengok Zahra petang harinya. Paginya, di kantor, seorang kawan datang dengan setengah berbisik, “Mas, ini ada bantuan barang sedikit untuk keluarga (Dili) yang kemarin mas ceritakan”. Ia menyodorkan amplop yang isinya lima lembar pecahan seratus ribuan.
Saya yang sama sekali tidak terpikir, senang sekali menerimanya, “Oh, terimakasih sudah mau membantu ya”. Terima kasih Tuhan, sudah mengetukkan hati kawan-kawan baik itu. Semoga mereka dilebihkan pahalanya.
Petang pun mengantar saya untuk menjemput istri di tempatnya bekerja, tak terlalu jauh dari RSCM tempat Zahra dirawat. Kami terpikir untuk mengontak Dili dulu, sekedar janjian atau menanyakan lokasi ruang perawatan Zahra.
Kami bergetar, masih di areal parker kantor istri saya. Istri saya bercakap serius dengan Dili di seberang sana melalui telepon genggam. Tapi istri saya hanya sesekali berbicara, lebih banyak Dili yang menyampaikan informasi. Saya otomatis mematikan mesin motor karena mencium terjadi sesuatu yang sangat penting.
Dari Dili kami mendengar kabar bidadari kecil yang riang itu sudah tiada. Kami kaget luar biasa. Nyawa Zahra tidak tertolong lagi karena terlambat dioperasi. Kami pun bergegas menuju lokasi Dili dan Susan berada. Untuk menenangkan Susan yang terus saja kepikiran Zahra, Dili mengajaknya tinggal sementara waktu di rumah kerabat. Dalam hati saya bertanya, apa memori hidup Zahra selama delapan bulan plus 12 bulan di kandungan ibunya bisa dihapus begitu saja, apalagi baru kemarin?
Di kawasan Rawasari, akhirnya kami bertemu Dili dan Susan. Semburat kesedihan masih memacaki wajah mereka. Susan tampak setengah limbung, entah bingung. Stres, kata istri saya sebelumnya. Sedangkan Dili, masih bisa tertawa walaupun saya merasakannya getir. Sepertinya ia memaksakan diri agar lebih tough di hadapan istrinya. Dan juga di depan kita, para tamunya yang mencoba menabahkan tapi sulit juga karena larut dalam kesedihan.
Saya tidak ingin mencecar, atau mengungkit pengalaman pahit yang baru mereka alami. Saya ingin lebih mendengarkan. Saya yakin istri saya juga memendam beban yang kurang lebih sama: ikut merasakan duka itu. Mendengarkan Dili dan Susan bercerita tentang Zahra yang pintar, aktif serta menjadi primadona selama berkali-kali dirawat di rumah sakit.
Kami lantas menyampaikan bantuan kawan-kawan yang murah hati. Dari obrolan itu pula Dili memberitahu saya mengenai beban hutang pengobatan yang menumpuk hingga puluhan juta.
“Kemarin-kemarin saya tidak terlalu memikirkan gaji saya dipotong berapa pun, yang penting Zahra bisa terus mendapat pengobatan dan sembuh”, ujar Dili.
Kami lebih banyak mengenangkan daripada mengulik hal-hal yang menyedihkan mengenai Zahra dan keluarga kecil ini. Tetapi sempat juga kami terperangah di sela-sela perbincangan itu. Susan, entah ingin berbagi beban, entah karena sudah lumayan akrab dengan kami berujar, “Zahra itu anak keempat kami…”. Hah? Saya menyimak lebih dalam.
“Iya, Zahra itu anak keempat. Bukan ketiga. Dua kakak Zahra yang pertama meninggal dalam kandungan. Yang ketiga meninggal tak lama usai persalinan. Dan yang terakhir Zahra ini…”.
Ya Tuhan, demikian besar cobaan untuk keluarga ini. Ekonomi sulit, kehilangan orang-orang yang mereka cintai pula. Tuhan, kuatkan mereka, terangi jalan mereka. Berkati mereka dengan rejeki berlimpah dan karuniakan kebahagiaan abadi. Jadilah kehendakMu di atas bumi seperti di dalam surga. Mungkin ini sudah jalan terbaikNya.
Terimakasih juga untuk kawan-kawan yang telah sudi membantu Zahra. Bahkan setelah Zahra pergi, masih banyak kawan menyampaikan uluran tangannya. Semoga dilipatkan pahalanya.
Bermainlah dengan kakak-kakakmu di surga, Zahra.
R.I.P. ZAHRATU SHITA (Januari 2010 – 27 September 2010)
NB: Bagi kawan-kawan yang ingin meringankan beban hutang pengobatan Pak Dili, silakan mengontak saya Julius Sumant di 0813-2523-2325. Kami akan membantu untuk menyalurkannya.