DI antara kekuatan ekonomi negara-negara tropis yang sedang berkembang pesat di percaturan dunia, Brazil adalah satu-satunya negara yang bisa disejajarkan dan juga menjadi saingan Indonesia.
Kedua negara ini mempunyai wilayah sangat luas: secara geografis keduanya adalah negara terbesar di kawasan masing-masing.
Brazil mempunyai 198 juta penduduk, sementara Indonesia menjadi rumah bagi 237 juta jiwa.
Melihat kenyataan ini, ada baiknya para pembuat kebijakan di Indonesia memusatkan perhatian pada Brazil, apalagi menjelang transisi pemerintahan pemimpinnya, Presiden Luiz Inacio Lula da Silva, yang lebih dikenal dengan nama Lula.
Pada pengambilan suara putaran pertama Minggu lalu, yang menjadi kandidat favorit, yakni Dilma Rousseff yang merupakan penerus pilihan Lula, dengan perolehan suara tidak terlalu jauh dari lawannya.
Rousseff, yang diharapkan menjadi perempuan pertama memimpin Brazil memperoleh 46,9% suara, sementara saingannya, Jose Serra, gubernur sentris dari Provinsi Sao Paulo yang dinamis, mengumpulkan 32,8%. Kandidat ketiga, mantan Menteri Lingkungan Hidup Marina Silva, secara mengejutkan memperoleh 19,3% suara.
Meski demikian, kemungkinan terjadinya kejutan di putaran kedua tampaknya tidak terlalu besar. Bahkan Lula, terlepas dari popularitasnya pada 2006, harus melalui putaran kedua sebelum memastikan kemenangannya.
Jejak Lula ini akan sulit diikuti. Hasil suara 80% yang diperolehnya sedikit banyak didongkrak latar belakang kisah hidupnya sebagai orang miskin yang meraih kesuksesan.
Tentu saja hal ini mencerminkan kehidupan lebih baik yang dinikmati rakyatnya. Lebih dari 30 juta penduduk telah ‘naik tingkat’ menjadi kaum kelas menengah yang jumlahnya semakin besar.
Pembawaan Lula yang terbuka dan percaya diri membawa bangsanya bangkit menuju golongan elit dunia – hal itu terbukti masuknya Brazil dalam jajaran formulasi BRIC yang berpengaruh dari Goldman Sachs, juga kelompok G-20, bersama Indonesia.
Angka pertumbuhan ekonomi Brazil telah memperkuat status negara Amerika Latin ini. Sebagai contoh, perusahaan raksasa minyak dan gas Brazil, Petrobas, baru-baru ini meningkatkan modalnya hingga US$67 miliar untuk mengeksplorasi sumber daya lepas pantai yang luas. Bahkan, Brazil menargetkan menjadi salah satu dari 10 besar negara penghasil minyak dunia pada 2020, dengan memproduksi lima juta barrel per hari.
Negeri Samba ini juga merupakan penghasil bijih besi terbesar di dunia – salah satu faktor yang menghubungkannya dengan China, mitra dagang terbesarnya, menjadi semakin rumit. Konglomerat tambang Brazil, Vale, dengan kapitalisasi pasar US$147 miliar, saat ini menjadi penambang nomor dua terbesar di dunia setelah BHP Biliton milik Australia.
Ambisi Brazil menjadi negara dengan perekonomian terbesar kelima di dunia pada 2025 dibangun di atas dasar ekonomi terdiversifikasi. Inovasi sektor pertanian, contohnya, telah dilakukan secara konstan selama puluhan tahun.
Seperti yang dilaporkan para ekonom baru-baru ini, institut penelitian milik negara, Embrapa, mengadaptasi varietas tumbuhan dan hewan sehingga mereka dapat hidup di lingkungan tropis, terutama di tanah mengandum asam cerrado – sebutan untuk padang yang rata di Brazil.
Berbagai inisiatif seperti ini menghasilkan peningkatan pada hasil pertanian sebanyak 150% selama 30 tahun terakhir. Bagi mereka yang peduli pada dampak ekspansi seperti ini pada lingkungan hidup, perlu dicatat bahwa peningkatan ini dicapai hanya dengan penggunaan tanah ekstra 20%.
Sesungguhnya, saat ini Brazil bisa disebut sebagai ‘lumbung dunia’. Negara ini adalah eskportir terbesar bukan hanya kopi, gula, sari jeruk dan tembakau, tetapi juga etanol, daging sapi dan ayam.
Lebih lagi pada 2025, Brazil akan menggeser AS sebagai eksportir makanan terbesar di dunia. Brazil akan menjadi pemain penting pada rantai suplai makanan global di masa depan.
Meskipun demikian, rakyat Brazil, tidak seperti Indonesia, mereka tidak meninggalkan kapabilitas manufakturnya. Contohnya, perusahaan pesawat terbang terbesarnya, Embraer, adalah produsen pesawat terbang kecil terbesar dunia.
Brazil, yang memiliki supermodel Gisele Bundchen dan pemain sepakbola Kaka, juga sudah ahli mengembangkan sayap kekuatannya yang tadinya masih bisa dibilang belum besar. Sukses yang mereka capai hingga saat ini memang mengagumkan, dengan menjadi tuan rumah World Cup 2014 dan Olimpiade 2016.
Diplomasi Brazil juga menjadi lebih independen, dengan beralih dari AS dalam hubungannya dengan Iran. Brazil secara pasti akan mengincar posisi permanen dalam Dewan Keamanan PBB.
Para imigran Brazil memberikan identitas hangat, bersahabat dan menarik bagi negara ini. Sikap publik mereka terbuka dan dinamis; sifat optimisme mereka begitu terasa.
Brazil, yang pernah dijuluki “negara masa depanâ€, saat ini benar-benar membuktikannya. Meski masih terdapat kesenjangan, pertumbuhan ekonomi yang kuat bisa meredakan ketegangan di sana. Seperti yang saya bilang, Indonesia perlu melihat Brazil sebagai standar kesuksesan. [mor]